visitors

Sabtu, 12 November 2016

MASJID di TANAH VATIKAN

Tak jauh dari Vatikan, pusat agama Katholik, berdiri salah satu masjid terbesar di Eropa yang pembangunannya melibatkan sebuah komite lintas negara.
 

Gerbang masjid masih terkunci saat saya tiba. Jam sepuluh. Masih cukup pagi memang untuk berkunjung. Selama sekitar lima belas menit saya melihat-lihat dan mengambil gambar dari sela-sela pagar masjid dengan perasaan agak kecewa karena tidak bisa masuk.
Pak Hamim, Atase Pertanian Kedubes RI di Roma yang menemani kunjungan saya bersama sang istri, Bu Lulu, tiba-tiba berteriak memanggil saya. Seorang pria baya berwajah Timur Tengah membuka gerbang. Ternyata selama saya mengambil gambar, Pak Hamim berbincang dengan seseorang di ruang jaga. Meski belum masuk waktu shalat, kami diizinkan melihat-lihat masjid. Senang sekali. Sebab, sejak berencana traveling ke Italia, La Moschea di Roma alias Masjid Agung Roma inilah yang menduduki daftar pertama tempat yang sangat ingin saya kunjungi.
Alkisah saat Raja Faisal dari Arab Saudi berkunjung ke Italia sekian puluh tahun lalu, Raja ingin shalat di masjid, tapi penasihatnya menginformasikan bahwa tak ada masjid di Roma. Raja Faisal kaget dan tak percaya. Pada tahun 1969, 23 negara Islam dan negara berpenduduk Muslim berkumpul (salah satunya Indonesia). Berkolaborasi dengan pemerintah Italia, komite ini merencanakan pembangunan masjid yang juga akan dijadikan pusat kebudayaan IslamUntuk menentukan arsitektur masjid, dibuatlah lomba desain masjid dan dimenangkan arsitek Italia, Paolo Portoghesi. Paolo kemudian berkolaborasi dengan Vittorio Giglioti dan Sami Mousawi, arsitek keturunan Irak, untuk merampungkan desain Masjid Agung Roma.

Perlu waktu 20 tahun hingga akhirnya masjid ini rampung. Atas lobi intensif Raja Faisal, pada tahun 1974 Dewan Kota Roma mengizinkan tanah seluas 30.000 meter persegi di daerah Acqua Acetosa, sebelah utara kota Roma, sebagai lahan pembangunan masjid.
Tahta Suci Vatikan sendiri pada tahun 1963 mengeluarkan dekrit yang berisi pernyataan bahwa Vatikan tidak menentang pembangunan masjid di Roma, sepanjang masjid dibangun di lokasi yang tidak terlihat dari St Peter’s Basilica atau Basilika Santo Petrus, tempat suci umat Katholik. Syarat lainnya, menara masjid juga tidak boleh lebih tinggi dari dome (kubah) Santo Petrus.
Sebenarnya pembangunan masjid bisa dimulai pada Juli 1979, tapi dibatalkan karena alasan sosial dan politik. Pada tahun 1983, komite mengajukan kembali rencana pembangunan dengan revisi rancang bangun termasuk pengurangan tinggi menara. Kali ini, Dewan Kota Roma menyetujui.
Pada 11 Desember 1984, sepuluh tahun setelah lahan tersedia, peletakan batu pertama pun resmi dilakukan. Hadir presiden Italia saat itu, Alessandro Pertini. Biaya pembangunan masjid sendiri sepenuhnya dari Kerajaan Arab Saudi. Akhirnya, pada 21 Juni 1995, Masjid Agung Roma pun diresmikan.
 
PERPADUAN KULTUR
          
“Coba cek, Mbak, ada nama Indonesia di situ,” kata Pak Hamim, menunjuk sebuah plakat dari marmer yang dipasang di dinding dekat tangga utama masjid. Saya teliti, nama Indonesia ada di urutan kesembilan. Untuk menghormati komite negara-negara yang membantu pembangunan masjid, dibuat semacam prasasti berbahasa Arab dan Italia. Kedua puluh tiga negara itu adalah: Aljazair, Arab Saudi, Bahrain, Bangladesh, Brunei Darussalam, Indonesia, Irak, Kuwait, Libya, Malaysia, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Pakistan, Qatar, Senegal, Sudan, Tunisia, Turki, Uni Emirat Arab, Yaman, dan Yordania.
Melihat banyaknya negara yang terlibat dalam pembangunannya, bisa dibilang Masjid Agung Roma merupakan perpaduan beragam kultur serta simbolisasi persatuan Islam. Bukan hal aneh, di Eropa dan juga Amerika banyak masjid yang mengkhususkan jamaahnya, misalnya masjid khusus Sunni, Syiah, atau masjid dengan jamaah negara tertentu.
Perpaduan kultur juga terlihat dari desain eksterior dan interior masjid yang terletak di Viale della Moschea (Jalan Raya Masjid). Paolo Portoghesi memadukan arsitektur Roman dan Islam dalam desainnya. Menaiki tangga utama menuju bagian utama Masjid, saya bagai dibawa pada kemegahan bangunan-bangunan Romawi Kuno. Selasar memanjang dengan tiang-tiang berjajar seperti batang pohon palem. Jajaran pohon juga kita dapati di ruang utama masjid. Bukan pohon asli tentu.
Portoghesi mendesain pilar-pilar yang menopang ruang utama masjid seperti pohon korma. Megah. Ada sekitar 32 pilar di bagian dalam dan 136 pilar di bagian luar masjid. Karpet biru muda di ruang shalat terasa begitu tebal saat kaki saya menginjaknya. Lampu-lampu hias yang besar dan indah menambah kemegahan masjid.
“Shalat dhuha, yuk,” ajak Bu Lulu. Pak Hamim sudah lebih dahulu shalat di bagian belakang. Karena sepi, hanya kami pengunjung masjid saat itu, saya pun shalat di bagian tengah masjid. Seusai shalat, saya maju ke bagian mihrab. Sebuah mimbar dari kayu dengan tangga terletak di sisi ini.
Dua orang petugas tampak tekun membersihkan masjid. Pantas, masjid ini begitu bersih. Karpet seperti tak berdebu karena rajin divakum. Selasar yang dilapisi lantai batu merah berseling marmer juga tampak bersih dan terasa amat sejuk, meski udara di luar lumayan panas. Tak heran, masjid ini memang dirancang dengan sistem udara terbuka. Dibangun juga taman dengan beragam tumbuhan di sekitarnya. Letak masjid yang dekat dengan hutan kota semakin menambah keteduhan.
Usai melihat-lihat ruang dalam masjid, kami pun beranjak. Sebelum menuruni tangga yang seperti aliran sungai, beberapa saat saya melepas pandangan dari selasar, menyaksikan dengan lebih saksama keindahan wilayah sekitar masjid nan agung di Vatikan ini. Subhanallah walhamdulillah.
sumber:http://www.ummi-online.com/masjid-agung-di-tanah-vatikan.html
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

visitors

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.
Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

jejak dan pengaruh islam di dunia

Translate